Selamat Membaca & Semoga Bermanfaat

Sabtu, 13 Juni 2015

Zakat Profesi Dan Wakaf Tunai (Uang)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. al-Baqarah [2] : 267).
Arti ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil usaha (harta) yang kita peroleh melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita nafkahkan (keluarkan zakatnya). Harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta dalam pandangan Islam adalah amanah Allah SWT. Di sinilah sikap amanah harus dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya.
Di dalam khazanah hukum Islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbagi dua. Yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ‘ulama ( ijma’) dan yang masih diperselisihkan (ikhtilaf).  Yang pertama adalah barang-barang yang dijelaskan secara eksplisit di dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan dan harta temuan (rikaz). Barang-barang itu sudah dijelaskan secara rinci, baik mengenai kadar nisabnya maupun kadar zakatnya.   Sedangkan yang kedua adalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam teks, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan jenis-jenis usaha baru yang menjanjikan.
Selain itu, kini muncul fenomena bentuk filantropi baru berupa wakaf tunai (uang) di tengah problem sosial dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaannya menjadi sangat strategis. Karena di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, ia juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial) dan kesejahteraan umat.

B.    Zakat
1.    Pengartian Zakat (Profesi)
Secara etimologi, kata zakat mempunyai beberapa arti yakni al-Barakatuh (البركة) yaitu keberkahan, al-Namaa ((النّما yaitu pertumbuhan dan perkembangan, at-Taharatu (الطّهرة) yaitu kesucian dan as-Shalahu (الصّلاه) keberesan. Sedangkan secara terminologi, meskipun para ulama mengemukakannya lewat redaksi yang agak berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah swt. Mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Sedangkan zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi tersebut misalnya pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta. Menurut Muhammad, zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relative banyak dengan cara yang mudah, melalui keahlian tertentu.
Dari uraian diatas dapat di kategorikan sejumlah pendapat yang termasuk dalam kategori zakat profesi seperti;
1.    Pendapatan dari hasil kerja pada sebuah instalasi. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat aktif atau adanya pemasukan pasti dengan jumlah yang relatif sama secara periodik.
2.    Pendapatan dari hasil kerja profesional pada bidang pendidikan, keterampilan dan kejuruan tertentu, dimana si pekerja mengandalkan kemampuan atau keterampilan pribadinya seperti dokter, pengacara, tukang cukur, artis, disainer, presenter, dan lainplain.
2.    Dasar Hukum Zakat profesi
Di dalam al-Qur’an secara tekstual dan implisit tidak disebutkan mengenai zakat profesi, akan tetapi melalui ijtihad ulama, zakat profesi ini dapat diterapkan berdasarkan firman Allah swt:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS. al-Baqarah [2] : 267).

3.    Cara Pengeluaran Zakat Harta Penghasilan
Ulama-ulama salaf yang berpendapat bahwa harta penghasilan wajib zakat, diriwayatkan mempunyai dua cara dalam mengeluarkan zakatnya:
1.    Az-Zuhri berpendapat bahwa, bila seseorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakatnya datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari pada membelanjakannya, dan bila tidak ingin membelanjakanya hendaknya ia mengeluarkan zakatnya bersamaan dengan kekayaanya dan lain-lain.
2.    Makhul berpendapat, bahwa bila seseorang harus mengeluarkan zakat pada bulan tertentu kemudian memperoleh uang dan kemudian dibelanjakanya, maka uang itu tidak wajib zakat, yang wajib zakat hanyauang yang sudah datang bulan untuk mengeluarkan zakatnya itu. Tetapi bila ia tidak harus mengeluarkan zakat pada bulan tertentu kemudian ia memperoleh uang, maka ia harus mengeluarkan zakatnya pada waktu uang tadi di peroleh.
4.    Nisab Zakat Profesi
Terdapat beberapa pendapat mengenai nisab dan kadar zakat profesi, yaitu :
a.    Menganalogikan secara mutlak zakat profesi kepada hasil pertanian, baik nisab maupun kadar zakatnya. Dengan demikian nisab zakat profesi adalah 520 kg beras dan kadarnya 5 % dan dikeluarkan setiap menerima.
b.    Menganalogikan secara mutlak dengan zakat perdagangan atau emas. Nisabnya 85 gram emas, dan kadarnya 2,5% dan dikeluarkankan setiap menerima, kemudian penghitungannya diakumulasikan atau dibayar diakhir tahun.
Sebagai contoh apabila menganalogikan nisab zakat penghasilan dengan hasil pertanian. Apabila nisabnya senilai 520 kg beras, sedangkan kadarnya dianalogikan dengan emas yaitu 2,5 %. Hal tersebut berdasarkan qiyas atas kemiripan (syabbah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni;
1.    Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan panen (hasil pertanian).
2.    Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang. Oleh sebab itu bentuk harta ini dapat diqiyaskan dalam zakat harta (simpanan/kekayaan) berdasarkan harta zakat yang harus dibayarkan (2,5 %).
3.    Berdasarkan hadis Rasululah, yang artinya; “Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)” (HR. Ahmad,  Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Pendapat ketiga inilah yang diambil sebagai pegangan perhitungan. Ini berdasarkan pertimbangan maslahah bagi muzaki dan mustahik. Maslahat bagi muzaki adalah apabila dianalogikan dengan pertanian, baik nisab dan kadarnya. Namun, hal ini akan memberatkan muzaki karena tarifnya adalah   5 %. Sementara itu, jika dianalogikan dengan emas, hal ini akan memberatkan mustahik karena tingginya nisab akan semakin mengurangi jumlah orang yang sampai nisab. Oleh sebab itu, pendapat ketiga adalah pendapat pertengahan yang memperhatikan maslahat kedua belah pihak.
5.    Pehitungan Zakat Profesi
Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:
a.    Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.
b.    Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.
Pendapat lain tentang perhitungan zakat profesi :
a.    Penentuan nisab dan kadar zakat profesi, Mohammad Taufik Ridho di dalam bukunya Zakat Profesi dan Perusahaan yang diterbitkan oleh Institut Manajemen Zakat bekerja sama dengan BAMUIS BNI mengemukakan bahwa ada 4 pendapat dalam mengqiyaskan hukum untuk menentukan nisab dan tarif zakat profesi sebagaimana tabel berikut:

b.    Cara menghitung zakat profesi apakah dari penghasilan netto atau bruto. Untuk cara yang pertama, untuk menentukan besarnya zakat profesi yang dikeluarkan pemilik harta terlebih dahulu mengurangi penghasilan yang mereka terima dengan kebutuhan pokok minimum pemilik harta tersebut. Ada beberapa versi dalam menentukan standar hidup minimal. Sekedar contoh, menurut Bank Dunia standar hidup minimal adalah $2 per jiwa perhari. Jika menggunakancara yang kedua, begitu menerima penghasilan pemilik harta tersebut segera menentukan zakatnya tanpa menguranginya dengan kebutuhan pokok minimum.
Mengacu pada dua permasalahan di atas, jika seseorang professional muda (belum menikah) memiliki total penghasilan Rp. 10.000.000,- per bulan dengan metode penghitungan pertama yakni penghasilan netto dengan asumsi kebutuhan pokok minimum professional muda tersebut adalah Rp. 2.500.000 per bulan, maka zakat yang harus dikeluarkan ditunjukkan sebagaimana tabel berikut:
Penghasilan netto = (Rp. 10.000.000 – Rp. 2.500.000) = Rp. 7.500.000,- (wajib zakat karena telah melampaui nisab baik zakat pertanian maupun zakat emas (uang)
Zakat Profesi = Rp. 7.500.00 x 2,5 % = Rp. 375.000,00
Dengan cara yang sama, zakat profesi untuk kategori (B) = Rp. 187.500,00,(C) = Rp. 187.500,00 dan (D) = Rp. 187.500,00
Keberagaman pendapat dalam menentukan zakat profesi yang dikemukakan oleh kalangan ulama identik dengan selalu adanya pilihan alternatif, keringanan dan kemudahan dalam membayar zakat.

C.    Wakaf
1.    Pengertian Wakaf Tunai (Uang)
Wakaf secara etimologi adalah al-habs (menahan)”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu. Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah untuk orang-orang miskin untuk ditahan. Diartikan demikian karena barang milik itu dipegang dan ditahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.
Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa” yang digabungkan dengan kata-kata segala jenis barang termasuk ungkapan yang tidak lazim, yang benar adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu” tanpa memakai hamzah (auqaftu). Adapun yang semakna dengan kata “habistu” adalah seperti ungkapan “waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”.
Sementara menurut Undang-Undang RI, wakaf dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu dari berbagai pendapat ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan pengertian wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, yaitu perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Sedangkan pengertian wakaf uang menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf mengenai harta benda wakaf meliputi :
a.    Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak;
b.    Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a meliputi:
a)    Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b)    Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c)    Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d)    Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e)    Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, serta benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya pada Pasal 28-31 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Pasal 22-27 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, secara detail menyebutkan bolehnya pelaksanaan wakaf uang.
Dengan demikian yang dimaksud wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Juga termasuk kedalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek dan lainnya.
2.    Dasar Hukum Wakaf Uang.
Secara ekplisit di dalam al-Quran tidak disebutkan mengenai wakaf yang berarti memberikan harta, akan tetapi  dalam mengurai masalah wakaf, para ulama melalui ijtihadnya mengkategorikan wakaf dalam kegiatan amal atau infaq fi sabilillah sebagaimana ayat-ayat berikut:
 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. al-Baqarah [2] : 261-262).

 “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran [3] : 92).

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Umar:
اصاب عمر ارضا بخيبر فاْتى النبي صلي الله عليه وسلم يستاْمره فيها فقال يا رسول الله اني اصبت ارضا بخيبر لم اصب مالا قط هو انفس عندي منه فما تامرني به؟ فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم: ان شئت حبست اصلهاوتصدقت بها. فتصدق بها عمر: انها لا تباع و لا توهب ولا تورث. وتصدق بها في الفقراء وفي القربي وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح علي من وليها ان ياْكل منها بالمعروف ويطعم غير متمول فيه

“ Bahwa Umar bin al Khattab r.a. memperoleh tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi S.A.W untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah engkau kepadaku mengenainya? Nabi S.A.W menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya. Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, dengan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya kepada fuqara’, kerabat, riqab, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari hasil itu secara ma’ruf dan member makan kepada orang lain tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik” 

Para ulama mazhab syafi’i juga telah membolehkan adanya wakaf uang, ini dijelaskan dalam riwayat Imam Syafi’i yang berbunyi:
وروى ابو ثور عن الشافعي جواز وقفها اى الدنانير والدراهيم
“ Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (Uang)”.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf uang. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Pada saat itu komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi tentang wakaf, yaitu:
حبس مال يمكن الإنقطاع به مع بقاء عينه بقطع فى رقبته على مصرف مباح موجود
“Menekan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokonya. Dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak) haram yang ada”.
Ulama fiqh membagi wakaf kepada dua bentuk : Pertama, wakaf khairi, yaitu wakaf yang sejak semula diperuntukkan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk membangun masjid, sekolah, dan rumah sakit. Kedua, wakaf ahli atau dzurri, yaitu wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu atau sejumlah orang tertentu, sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan dan kepentingan umum, karena apabila penerima wakaf telah wafat, harta wakaf itu tidak bisa diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf. Wakaf tidak boleh di pindah tangan atau dirubah, tetapi kalau itu dikehendaki oleh masyarakat tanah tersebut harus diganti sesuai dengan fungsinya dan manfaatnya juga harus lebih daripada sebelumnya.
Selain hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwanya tentang Wakaf Uang pada tanggal 11 Mei 2002, yang menyatakan bahwa :
1.    Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang.
2.    Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat berharga,
3.    Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh);
4.    Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan secara syar’i;
5.    Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan/atau diwariskan.
Dengan demikian, jika dilihat dari landasan hukum wakaf uang yang telah ada dapat disimpulkan bahwa hukumnya boleh baik menurut undang-undang maupun agama.
3.    Sejarah Wakaf Uang
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW yaitu wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar r.a, sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Praktek wakaf juga berkembang luas pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah dan dinasti sesudahnya, banyak orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para staffnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Indonesia. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di Indonesia, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka.
Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun, perkembangan wakaf kemudian hari tak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, langgar, madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja. Ini berarti tak jauh beda dengan model wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.
Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf uang untuk peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (Waqf al-Nuqud).
Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bererak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti uang.  Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nadzir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat menjalankan fungsinya, Undang-Undang ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf Uang  yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nadzir wakaf. Setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 42/2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.
Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan sejarahnya, wakaf akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman berdasarkan berbagai inovasi-inovasi yang relevan dengan tetap mengedepankan dan berpandukan prinsip Syariah. Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf berikut peraturan turunannya merupakan titik tolak peningkatan pemberdayaan potensi wakaf di Indonesia ke arah yang lebih produktif dalam bingkai fiqh Indonesia.
Mereka yang memiliki kepedulian serta perhatian terhadap kelangsungan agamanya rela melepaskan sebagian tanahnya atau menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk kepentingan rumah peribadatan. Contoh yang paling nyata dari adanya praktik wakaf sebelum Islam adalah tempat-tempat ibadah yang dibangun di atas tanah seperti dibangunnya Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Aqṣ ha. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.
Jika praktik wakaf telah dikenal sebelum Islam, maka yang membedakannya dengan wakaf dalam Islam adalah bahwa praktik wakaf yang diamalkan masyarakat jahiliyah dilakukan semata-mata hanya untuk mencari prestise (kebanggaan). Sedangkan dalam Islam bertujuan untuk mencari ridla Allah dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.
4.    Rukun dan Syarat Wakaf Uang
Suatu akad wakaf  uang dapat dianggap sah secara syara’ harus memenuhi 4 (empat) unsur berikut, yaitu :
1.    Orang yang berwakaf (waqif)
Dalam hal ini waqif harus memenuhi syarat-syarat untuk melakukan tabarru’, yaitu melepaskan hak milik dengan ikhlas tanpa imbalan materi apapun. Orang dikatakan mempunyai kecakapan bertabarru’ apabila ia telah balig, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, syarat-syarat waqif adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 ayat 1 yang berbunyi: “Badan-badan hukum Indonesia atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak-pihak, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari isi pasal 3 ayat (1) tersebut dapat dilihat adanya persamaan dengan hukum Islam mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang berwakaf (waqif).
Sedangkan dalam kitab suci syarat orang yang berwakaf (waqif) ada empat perkara yaitu:
a.    Waqif  harus merdeka dan memiliki hak penuh terhadap barang yang diwakafkan. Tidak sah wakaf dari seorang budak sahaya dan tidak sah pula mewakafkan milik orang lain atau wakaf seorang pencuri atas barang curiannya.
b.    Orang yang berwakaf itu harus berakal sempurna. Tidak sah wakaf orang gila dan orang lemah akalnya disebabkan sakit atau lanjut usia, termasuk juga wakafnya orang dungu karena akalnya dipandang kurang. Kesempurnaan akal dibutuhkan dan bahkan menjadi syarat, karena wakaf termasuk prilaku ekonomi yang memerlukan keharusan akal sehat dan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
c.    Waqif harus cukup umur atau balig. Oleh para Fuqaha’ balig  dipandang sebagai indikasi sempurnanya akal seseorang. Oleh karena itu, wakaf anak kecil dianggap tidak sah, baik terlepas apakah ia sudah mampu melakukan transaksi wakaf atau belum.
d.    Orang yang berwakaf harus sudah bisa berpikir jernih dan tenang, dan tidak ada tekanan sedikitpun diakibatkan kelalaian atau kebodohan sehingga menyebabkan ia bangkrut, walaupun wakaf tersebut berada di bawah pengawasan wali atau orang yang sudah dewasa.
Mengenai kecakapan bertindak dalam hukum Islam ada dua istilah yang perlu dipahami, yaitu perbedaan istilah baligh dan rasyid (kematangan pertimbangan akal). Kedua istilah tersebut, mengandung pengertian kematangan pertimbangan akal, sehingga dengan syarat ini si waqif dianggap cukup cakap dan mampu melakukan tabarru’.
2.    Harta yang diwakafkan (mauquf )
Dalam hal ini benda wakaf harus dapat dimanfaatkan dalam kurun waktu yang berjangka lama, dengan pengertian tidak habis sekali pakai. Wakaf dipandang sah bila harta wakaf memiliki nilai dan merupakan hak penuh si waqif. Harta wakaf tersebut, boleh jadi berupa saham atau uang yang dapat  diperdagangkan, dengan catatan tingkat spekulasinya tidak begitu tinggi. Artinya, jika harta wakaf hendak dikembangkan dalam bentuk perdagangan misalnya, modal harus diperhitungkan sedemikian matang, sehingga dapat menghasilkan keuntungan sesuai yang diharapkan dengan tujuan untuk pengembangan harta wakaf itu sendiri. Sebagai kode etiknya tentu dalam menjalankan modal harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, agar terhindar dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Golongan Malikiyah dan Syi’ah memperbolehkan wakaf benda-benda yang bergerak, sebab menurut mereka wakaf boleh bersifat sementara dan juga boleh untuk selama-lamanya. Demikian pula mazhab Syafi’i dan Hanabilah juga membolehkan wakaf benda yang bergerak seperti uang, sedang keabadian suatu wakaf bergantung pada sifat benda itu sendiri.
3.    Tujuan Wakaf (mauquf ‘alaih)
Tujuan wakaf berdasarkan pemahaman pada hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan di atas dapat difahami bahwa harta yang diwakaf kan oleh waqif itu ditujukan kepada orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, pada jalan Allah, orang terlantar dan tamu.
Berdasarkan hadits Ibnu Umar ini, dapat disimpulkan bahwa tujuan wakaf tidak terlepas dari dua hal, yaitu:
a.    Untuk mencari keridhaan Allah SWT, termasuk di dalamnya segala macam usaha untuk menegakkan agama Islam, seperti mendirikan tempat-tempat ibadah kaum muslimin, kegiatan dakwah, pendidikan agama Islam, penelitian ilmu-ilmu agama dan sebagainya.
b.    Untuk kepentingan masyarakat, seperti untuk membantu fakir miskin, terlepas apakah orang muslim atau non muslim, mendirikan sekolah, dan panti asuhan, dan sebagainya.
Sekalipun dalam hadits tidak disebutkan secara tegas seluruh tujuan wakaf, namun dapat dipahami bahwa wakaf yang besar pahalanya adalah wakaf dengan tujuan seperti di atas. Para ulama sepakat bahwa wakaf tidak boleh untuk tujuan maksiat, seperti tempat perjudian, tempat pesta dansa, dan perkumpulan-perkumpulan sesat lainnya, karena wakaf menurut kacamata agama Islam tidak mengandung unsur (taqarrut).
4.    Pernyataan wakaf (sighat wakaf)
Pernyataan waqif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Mengenai pembatasan waktu dalam berwakaf, seperti pernyataan seseorang “Aku wakafkan tanah ini sepuluh tahun” maka mazhab Maliki membolehkan dengan alasan bahwa sesuai dengan hadits Ibnu Umar bahwa wakaf itu semacam sedekah, sedangkan setiap sedekah boleh terbatas waktunya. Tetapi menurut mazhab Hanafi, mazhab  Syafi’i, dan mazhab Zahiri berpendapat bahwa “waktu selama-lamanya” merupakan syarat sahnya wakaf. Dasar pendapat mereka adalah hadits  Ibnu Umar yang menyatakan bahwa wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.
Dari pendapat tersebut berarti bahwa apabila wakaf tersebut untuk waktu tertentu saja, maka tidak sah wakafnya. Jika terjadi suatu wakaf, walau tidak disebutkan syarat selama-lamanya, berarti wakaf telah melepaskan haknya untuk selama-lamanya. Ia bukan lagi pemilik harta yang telah diwakafkan itu.
Persyaratan mewakafkan sesuatu dapat dilakukan dengan lisan, baik berupa tulisan maupun isyarat yang dapat memberi pengertian wakaf. Sighat wakaf pada hakikatnya merupakan pernyataan (ikrar) dari si waqif  bahwa ia telah mewakafkan hartanya di jalan Allah SWT. Karena itu, sighat wakaf tidak memerlukan qabul atau pernyataan menerima dari pihak yang menerima. Disamping itu wakaf juga merupakan tabarru’ (pelepasan hak milik tanpa imbalan), dan tabarru’ ini tidak memerlukan qabul.
5.    Manfaat Wakaf Uang
Ada empat manfaat utama dari wakaf uang dewasa ini dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah dapat mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah dahulu. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kososng bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang aliran dananya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika seadanya. Keempat, pada gilirannya umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu bergantung pada anggaran pendidikan dan sosial negara yang sangat terbatas. Selain di atas, terdapat tiga filosofi dasar, seperti diungkapkan Antonio, yang harus ditekankan ketika umat Islam akan menerapkan prinsip wakaf uang.
Pertama, alokasi wakaf uang harus dilihat dalam bingkai proyek yang terintegrasi, bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Contohnya, anggapan dana wakaf akan habis (musnah) bila dipakai untuk membayar gaji pegawai sementara wakaf harus abadi. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pendidikan dan sosial dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya.
Kedua, asas kesejahteraan nadzir, sudah lazim kita dengar bahwa nadzir seringkali diposisikan kerja asal-asalan dan lillahi ta’ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib berpuasa. Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nadzir asal jadi saja. Sudah saatnya, nadhir menjadi sebuah profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, namun juga di dunia. Di Turki, sebagai misal, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5% dari net income wakaf. Sementara itu, The Centre Waqf Council India mengalokasikan dana sekitar 6% dari net income pengelolaan wakaf untuk kebutuhan operasional.
Ketiga, asas transparansi dan akuntabilitas di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited finacial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biaya.
6.    Asas-Asas Wakaf Uang
a.    Asas Keabadian Manfaat
Ajaran Wakaf yang diajarkan oleh Nabi didasarkan pada salah satu riwayat yang memerintah Umar bin Khattab agar tanah di Khaibar yang dimilikinya untuk disedekahkan. Perintah Nabi itu menekankan bahwa substansi (keberadaan) kebun tersebut tidak boleh diperjual-belikan, dihibahkan atau diwariskan, dan hasilnya disedekahkan untuk kepentingan umat.
Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti beberapa sahabat Nabi yang lain yang menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya, tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan kebijakan umum.
Asas kemanfaatan benda wakaf yang merupakan hasil dari pengelolaan uang waqif menjadi landasan yang paling relevan dengan keberadaan benda itu sendiri. lebih-lebih ibadah wakaf oleh para ulama dikategorikan sebagai amal ibadah shadaqah jariyah yang memiliki nilai pahala yang terus mengalir walaupun yang melakukannya telah meninggal dunia. Tentu saja, dalam pandangan yang paling sederhana sekalipun, bahwa kontinuitas pahala yang dimaksud itu karena terkait dengan aspek kemanfaatan yang bisa diambil secara berkesinambungan oleh pihak kebajikan (kepentingan masyarakat banyak).
b.    Asas Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban merupakan asas paradigma baru wakaf uang. Sebagai sebuah ajaran yang memiliki dimensi ilahiyyah dan insaniyyah, wakaf uang juga harus dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun di akhirat kelak. Bentuk dari pertanggungjawaban tersebut adalah pengelolaan secara sungguh-sungguh dan semangat yang didasarkan pada tanggungjawab kepada Allah SWT atas perilaku dan perbuatannya, tanggungjawab kelembagaan kepada pihak yang memberikan wewenang, tanggungjawab dimana segala tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku, tanggung jawab kepada masyarakat dengan tidak mencederai norma-norma sosial yang ada.
c.    Asas Profesionalitas Manajemen
Manajemen pengelolaan menempati posisi paling urgen dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan harta wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Kalau pengelolaan harta dan benda wakaf selama ini hanya dikelola seada-adanya dengan menggunakan manajemen kepercayaan dan sentralisme kepemimpinan yang mengesampingkan aspek pengawasan, maka dalam pengelolaan wakaf uang secara modern harus menonjolkan sistem yang lebih produktif dan professional. Asas professional dan produktif ini seharusnya dijadikan semangat pengelolaan harta dan benda wakaf dalam rangka mengambil kemanfaatan yang lebih luas dan lebih nyata untuk kepentingan masyarakat banyak (kebajikan).
Potret kepemimpinan manajemen yang baik dalam lembaga kenadziran bias dilihat dari tiga aspek yaitu pertama, transparansi yang menjadi cirri utama yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin dan harus dijadikan tradisi untuk menutup tindakan ketidakjujuran, korupsi, manipulasi dan lain sebagainya. Kedua, pertanggungjawaban umum yang merupakan wujud dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan siddiq (kejujuran). Ketiga, aspiratif dengan tujuan menghindari terjadinya pola pengambilan keputusan secara sepihak oleh kalangan elit kepemimpinan.
d.    Asas Keadilan Sosial
Konsep keadilan sosial yang dianut oleh Islam juga menjadi asas paradigma baru wakaf uang, yaitu jika kita mewakafkan sebagian harta tidak tertuju pada aspek kedermawaan seorang belaka, tetapi dengan sikap tersebut mengandung sisi penegakan keadilan sosial yang lebih merata. Dikarenakan memiliki asas fundamental tersebut lah, maka wakaf uang harus dikelola secara produktif dan profesional agar tidak menjadi tumpukan-tumpukan harta yang sedikit atau tidak memberi manfaat kepada masyarakat umum.
7.    Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam
Di kalangan masyarakat muslim (Indonesia), wakaf masih difahami kurang proporsional. Pemahaman tersebut tentunya tidak lepas dari berbagai pengaruh imam madzab. Imam Syafi’i, misalnya sangat menekankan wakaf pada fixwed asset (harta tetap), sehingga menjadikannya syarat sah wakaf. Dengan demikian pembahasan harta benda wakaf dalam fiqh klasik Imam Syafi’i seperti al Umm atau bahkan fiqh modern seperti fiqh as Sunnah Sayyid Sabiq tidak memperbolehkan  wakaf tunai/uang, karena dinilai tidak akan kekal ketika dimanfaatkan. Selain itu, alasan lain adalah jika berdasarkan ‘Urf (kebiasaan yang berlaku), maka wakaf uang hanya berlaku di wilayah-wilayah tertentu dari bekas wilayah kekaisaran Bizantium (Romawi) saja, di tempat lain tidak berlaku.
Sedangkan Imam Malik mengartikan ‘keabadian’ lebih pada nature barang yang diwakafkan, baik itu asset tetap maupun asset bergerak. Ia memperluas bahasan wakaf mencakup barang-barang bergerak lainnya seperti sapi atau wakaf buah tertentu, begitu pula dengan uang tunai yang bisa digunakan untuk menopang pengelolaan wakaf secara produktif.
Pendapat serupa juga dikemukakan Imam Hanafi yang memperbolehkan wakaf tunai dengan syarat nilai pokoknya dapat terjamin kelestariannya, tidak dijualm tidak dihibahkan dan atau diwariskan dan selama digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan.
Dalam hal ini, MUI memperbolehkan wakaf tunai setelah memperhatikan fatwa-fatwa ulama besar seperti:
1.    Imam az Zuhri (waft 124 H), memperbolehkan wakaf uang dengan cara menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya di salurkan kepada mauquf ‘alaihi. (pihak atau lembaga yang menangani wakaf)
2.    Mutaqaddimin dari ulama madzab Hanafi, memperolehkan wakaf uang sebagai pengecualian atas dasar istihsan bi l ‘urfi.
3.    Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf uang.

D.    Simpulan
Melihat pembahasan di atas, mengenai zakat profesi dan wakaf, utamanya wakaf tunai perlu dilihat dari aspek maslahatnya sebagaimana dalam konteks maqashid al syariah, sehingga asset-aset wakaf yang selama ini ada dan aka nada dapat dijadikan sebagai asset berharga umat Islam yang dapat digunakan dalam berbagai sektor kehidupan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, ibadah. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa untuk berwakaf tidak perlu menunggu menjadi orang kaya, karena dengan wakaf tunai ini semua masyarakat muslim dapat berkontribusi dalam membangun kemajuan Islam.
Sementara zakat profesi merupakan temuan baru dalam kajian hukum Islam yang perlu dikembangkan lagi mengingat jenis profesi dewasa ini sangat bermacam-macam sehingga harta atau pendapatan yang diraih oleh setiap muslim juga dapat dinikmati oleh muslim yang lain sebagaimana ketentuan yang disepakati dalam ijtihad para ulama. Untuk mengetahui secara detail pembahasan zakat profesi, dalam hal ini penulis merekomendasikan untuk menelaah karya Dr. Yusuf Qardawi tentang Hukum Zakat. Wallahu a’lam bi muradihi.














Daftar Pustaka

Abdurrahman, 1994,  Masalah Perwakafan Tanah Milik, Bandung : Citra Aditya Bakti
al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, 1977, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah. Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad. Alih bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk, judul Indonesia: Hukum Wakaf,2004, Jakarta: DD Republika dan IIMan
Al-Mawardi, 1994, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Mahmud Mathraji, Beirut : Dar al-Fikr, Juz IX
Basyir, Ahmad Azhar, 2000, Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press
Daradjat, Zakiah, 1993, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
Didin Hafidhudin, 2002, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta : Februari 2008), hal. 1.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2009,  Strategi Pengembangan Wakaf Uang di Indonesia, Jakarta : Februari
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2008, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta : Februari
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang Tahun 2002.
http://fis.uii.ac.id/images/la-riba-vol4-no1-2010-05-medias.pdf.
http://makhrus.jagakarsa.ac.id/2006/zakat-profesi-zakat-penghasilan-dalam-tinjauan-syari.mac.
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1180:zakat-profesi&catid=9:zakat&Itemid=61
Keputusan Komisi Fatwa MUI tertanggal 11 Mei 2002
Kurnia, Hikmat dan A. Hidayat,  2008, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: Quantum Media
Manzur, Ibn, 1945, Lisan al-‘Arab, Jilid II, Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah
Mufraini, M. Arif, 2006, Akutansi dan Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana, 2006
Muhammad, 2002, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002
Qordawi, Yusuf, 2007,  Hukum Zakat, Cet. X, Jakarta; Pustaka Litera Antarnusa
Rusyd, Ibn, Bidâyat al-Mujtaahid, Jilid 1, Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M
Saroso, 1984, Tinjauan Yuridis, Yogyakarta : Liberty Jogjakarta
Suhadi, Imam, 1985,  Hukum Wakaf di Indonesia,  Cet. I, Yogyakarta: Dua Dimensi
Tim Dewa Syariah PKS, 2006, Fatwa-Fatwa Dewan Syaria’ah PKS, Bandung: Harakatuna Publising
Tim Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji Depag RI
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat 1.

1 komentar: