Selamat Membaca & Semoga Bermanfaat

Sabtu, 13 Juni 2015

Prosedur Dan Mekanisme Arbitrase Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan ini, salah satunya adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi syariah yaitu suatu sistem ekonomi yang tujuan utamanya adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan secara merata. Adapun yang dimaksud kesejahteraan (al-falah) adalah sebuah kondisi di mana al-Daruruyyat al-Khams (lima kebutuhan primer) dapat terpelihara dan terjamin dan terpelihra keberadaannya dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lima kebutuhan primer tersebut adalah terdiri dari pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka untuk merealisasikan tujuan tersebut dibutuhkan suatu sistem yang akan mendukung terciptanya tujuan tersebut yaitu berupa nilai dan prinsip-prinsip syariah. Sistem nilai pada hakekatnya sesuatu yang akan memberikan makna dalam kehidupan manusia dalam setiap peran yang dilakukan tanpa terkecuali dalam berekonomi secara syariah.
Sengketa Ekonomi Syariah
Perekonomian berbasis syariah harus diakui telah mengalami perkembangan pesat dan menggembirakan. Sejak Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri dan mulai beroperasi pada1 Mei 1992, pertumbuhan perbankan syariah meningkat tajam. Dari satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada 1998 menjadi tiga bank umum syariah dan 17 bank umum yang membuka unit usaha syariah dengan 163 kantor cabang, 85 kantor cabang pembantu, dan 136 kantor kas, serta 90 BPRS pada akhir 2005.
Meskipun mengalami perkembangan pesat tidak berarti dalam ekonomi syariah tidak terdapat masalah atau sengketa yang bersumber dari cacatnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Untuk itu perlu didukung dengan berbagai perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia. Hal ini mendukung pula kokohnya pola hubungan antara LKS dengan nasabah yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah karena pada dasarnya setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau iktikad baik. Dalam hal ini kontrak disebut juga akad atau perjanjian yaitu bertemunya ijab yang diberikan oleh salah satu pihak dengan kabul yang diberikan oleh pihak lainnya secara sah menurut hukum syar’i dan menimbulkan akibat pada obyeknya.
Untuk mengantisipasi persengketaan ekonomi syariah yang terjadi di LKS, baik masyarakat, Lembaga Keuangan Syariah baik Bank maupun non Bank, serta para pengguna jasanya menyadari bahwa mereka tidak dapat mengandalkan instansi peradilan umum apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syariah. Karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara berbeda. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah tersebut diselesaikan oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kini namanya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.

Pembahasan
1.    Lembaga Penyelesaian Sengeketa Ekonomi Syariah
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUH Perdata, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti Arbitrase atau perdamaian (islah).
Sampai saat ini penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua model, yakni penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Pilihan penyelesaian sengketa non litigasi dapat dibagi dua, yaitu Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduraldan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan proses nonlitigasi ini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil keputusannya pun tidak dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Sejak tahun 1980, di berbagai negara ADR ini  dikembangkan sebagai jalan terobosan alternatif atas kelemahan penyelesaian litigasi dan Arbitrase, mengakibatkan terkuras sumberdaya, dana, waktu dan pikiran dan tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha ke arah kehancuran. Atas dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaiakan sengketa di luar proses litigasi, karena pada prinsipnya penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar lembaga peradilan (non litigasi) dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui lembaga arbitrase (al-Tahkim).

2.    Prosedur dan Mekanisme Arbitrase Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Sebagaimana disebutkan di atas, di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli. Sedangkan lembaga tahkim yang dimaksud dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Prosedur dan Mekanisme Badan Arbitrase Syariah Nasional  (BASYARNAS) Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebagai berikut:
1.    Penagajuan  Permohonan
Proses Arbitrase dimulai dengan pendaftaran surat permohonan  untuk mengadakan Arbitrase oleh Sekretaris  dalam Register Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Surat permohonan tersebut sekurang-kurangnya harus memuat nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan  kedua belah pihak,  uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika diajukan oleh kuasa hukum.
2.    Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan Arbitrase  Syariah Nasional  (BASYARNAS),  untuk menentukan apakah Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa Arbitrase yang dimohonkan. 
Apabila dalam hal perjanjian atau klausula Arbitrase dianggap tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) untuk memeriksa sengketa yang diajukan,  maka Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat diterima  (Niet Outvankelijk Verklaard)  yang dituangkan dalam sebuah penetapan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)  sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan oleh Arbiter tunggal atau Arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah dimulai.  Sebaliknya, jika perjanjian atau klausula Arbitrase dianggap telah mencukupi,  maka Ketua Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk Arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat ringannya sengketa.  Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari Arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi Arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan suatu keahlian khusus.  Dengan demikian susunan arbiter dapat pula dalam bentuk tunggal atau majelis.
3.    Arbiter yang ditunjuk diperintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan.  Segera setelah diterimanya  jawaban dari  Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau ketua Arbiter majelis,  salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu,  dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus.
4.    Pemeriksaan persidangan Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), kecuali terdapat persetujuan dari kedua belah pihak,  pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain. Arbiter tunggal atau majelis dapat melakukan sidang ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen yang mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa.  Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
5.    Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter tunggaal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk membela dan mempertahankan  kepentingan perkara yang disengketekannya. 
6.    Arbiter tunggal atau majelis,  baik atas pendapat sendiri atau para pihak dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi,  termasuk saksi  ahli  dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak,  setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada Arbiter tunggal atau majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing).  Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik), pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter tunggal atau majelis.
7.    Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan,  Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie).   Terhadap bantahan yang diajukan Termohon, Pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional Claim),  asalkan hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk dalam Yurisdiksi Badaan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun Addional Claim akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter atau majelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya perdamaian.
Apabila usaha tersebut berhasil,  maka Arbiter tunggal  akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing.  Sebaliknya, apabila perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter tunggal atau majelis akan meneruskan pemeriksaan sengketa  yang dimohon.   Dalam hal yang diteruskan para pihak dipersilahkan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya.  Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.
8.    Arbiter tunggal atau majelis  akan menutup pemeriksaan sengketa Arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang diambil,  bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to open) sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.
9.    Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua belah pihak.  Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh Arbiter tunggal atau majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan habis,  terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
10.    Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan,  kecuali para pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan.  Arbiter Tunggal atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjian yang menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak.   Putusannya bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib mentaati seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas. Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela,  maka putusan  dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 Reglement op de Bourgerlijke Rechtsvordering (RV)  dan Pasal 639 (RV). 

Walaupun putusan arbiter itu bersifat final and binding, namun Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional memberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis permintaan pembatalan putusan (annulment of the award) Arbitrase tersebut yang disampaikan kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan  paling lambat dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai berikut:
1.    Penunjukan Arbiter tunggal atau majelis tidak sesuai dengan ketentuan.
2.    Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS.
3.    Putusan melebihi yang diminta para pihak.
4.    Terdapat penyelewengan di antara saalah salah seorang Arbiter.
5.    Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan tidak memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.
    
Penutup
Secara umum Arbitrase mempunyai  kelebihan atau keuntungan bagi para pihak yang bersengketa, yaitu:
1.    Prosedur tidak berbelit dan keputusan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat
2.    Biaya lebih murah
3.    Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum
4.    Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks
5.    Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh Arbitrase
6.    Para pihak bisa memilih sendiri para Arbiter
7.    Dapat memilih para Arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya
8.    Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi
9.    Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi)
10.    Keputusan Arbitrase pada umumnya  dapat diberlakukan dan dieksekusi  oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali
11.    Proses/prosedur Arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas
12.    Menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.

Disamping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila melihat perkembangan BASYARNAS yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebaiknya BASYARNAS melakukan perapihan manajemen dan SDM yang ada.
Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relatif baru berdiri, maka BASYARNAS masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representatif, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak yang bersengketa, dan Arbiter yang mampu membantu penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding dalam penyelesaian sengketa di Arbitrase.
Selain itu sosialisasi keberadaan lembaga ini masih terbatas sehingga upaya sosialisasi dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai Arbitrase syariah dapat dilakukan secara kontinyu yang melibatkan bankir, alim ulama, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Keterbatasan Jaringan kantor BASYARNAS di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena BASYARNAS baru beroperasi di Jakarta, pengembangan jaringan kantor BASYARNAS diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat muslim atau non muslim yang menundukkan dirinya pada aturan atau hukum Islam dalam penyelesaian sengketa ekonomi secara syariah dapat merasakan manfaatnya. Wallahu a’lam bi muraadihi.
Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press
Harahap,M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/PARADIGMA%20PENYELESAIAN%20SENGKETA%20PERBANKAN%20SYARI.pdf. Diakses Rabu 10 April 2013.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15990/mengurai-benang-kusut-badan-Arbitrase-syariah-nasional. Diakses Rabu 10 April 2013.
Majalah Hukum Varia Peradilan, 2008, Tahun Ke XXIII No. 266, Januari, Jakarta : IKAHI
Nurrudin, Amiur, Kesejahteraan Sejatidalam Perspektif Ekonomi Islam, “Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam”, Vol 3 No. 1(ISID, Dzulqa’dah 1427)
_______,  Amiur, SDM Berbasis Syariah,“Tsaqafah: JurnalPeradaban Islam”, Vol 6 No 1 (ISID, April 2010
Rahmani Timorita Yulianti dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XVII FIAI UII Yogyakarta Tahun 2007
Undang-Undang Dasar 1945
Usman, Rachmadi, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti

0 komentar:

Posting Komentar