Selamat Membaca & Semoga Bermanfaat

Sabtu, 13 Juni 2015

E-Commerce Dalam Perspektif Fiqh Bisnis Kontemporer

Globalisasi dibidang ekonomi telah menjadi kerangka acuan dan sekaligus contoh yang saat ini paling jelas bisa menggambarkan bagaimana kekuatan global bisa berdampak pada banyak aspek kehidupan. Salah satunya adalah terjadinya proses globalisasi keuangan yang memiliki signifikansi dan kekuatan yang sangat besar.
Salah satu ekses dari globalisasi ekonomi adalah melalui Teknologi Informasi (Information Technology), telekomunikasi dan komputer adalah lahirnya model transaksi yang tidak perlu bertemu secara langsung atau face to face. Transaksi cukup dilakukan dengan menggunakan media elektronik yaitu media internet. Transaksi ini dikenal dengan nama electronic commerce (e-commerce). Dalam bidang perdagangan misalnya, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi pasar di tengah arus globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (Global Communication Network). Dengan semakin populernya internet seakan telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas-batas negara berikut kedaulatan dan tatananan masyarakatnya yang dibantu oleh komputer sebagai alat bantu manusia dengan didukung perkembangan teknologi informasi telah membantu akses ke dalam jaringan jaringan publik (public network) dalam melakukan pemindahan data dan informasi.
Menurut WTO (World Trade Organization), cakupan e-commerce meliputi bidang produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, dan pengiriman barang atau jasa elektronik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sistem perdagangan beralih ke media elektronik yaitu :
1.    E-commerce memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan dan setiap saat informasinya dapat diakses secara up to date dan terus-menerus.
2.    E-commerce dapat mendorong kreativitas dari pihak penjual secara cepat dan tepat dalam pendistribusian informasi yang disampaikan secara periodik.
3.    E-commerce dapat menciptakan efisiensi waktu yang tinggi dan murah serta informative.
4.    E-commerce dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan pelayanan cepat, mudah, aman, dan akurat.
B.    Pembahasan
1.    Pengertian E-commerce
Perdagangan elektronik atau e-dagang (bahasa Inggris: Electronic Commerce, juga E-Commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, world wide web (www), atau jaringan komputer lainnya. e-dagang dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-dagang ini sebagai aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti transfer dana secara elektronik, SCM (Supply Chain Management), e-pemasaran (e-marketing), atau pemasaran online (online marketing), pemprosesan transaksi online (online transaction processing), pertukaran data elektronik (Electronic Data Interchange/IDI), dan lain-lain.
E-dagang atau e-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekadar perniagaan tetapi mencakup juga kolaborisasi (pengolaborasian) mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dan lain-lain. Selain teknologi jaringan www. e-dagang juga memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (data-bases), e-surat atau surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini.
Beberapa aplikasi umum yang berhubungan dengan e-commerce adalah:
1.    E-mail dan Messaging
2.    Content Management Systems
3.    Dokumen, spreadsheet, database
4.    Accounting dan sistem keuangan
5.    Informasi pengiriman dan pemesanan
6.    Pelaporan informasi dari klien dan enterprise (perusahaan)
7.    Sistem pembayaran domestik dan internasional
8.    Newsgroup
9.    On-line Shopping
10.    Conferencing
11.    Online Banking/Internet Banking
12.    Digital Product/Non Digital Product

Dalam mengimplementasikan e-commerce tersedia suatu integrasi rantai nilai dari infrastrukturnya, yang terdiri dari tiga lapis; Pertama, insfrastruktur sistem distribusi (flow of good); Kedua, insfrastruktur pembayaran (flow of money); dan Ketiga, Infrastruktur sistem informasi (flow of information).
Dalam hal kesiapan infrastruktur e-commerce logistics follow trade, bahwa semua transaksi akan diikuti oleh perpindahan barang dari sisi penjual kepada pembeli. Agar dapat terintegrasinya sistem rantai pasokan (supply) dari supplier, ke pabrik, ke gudang, distribusi, jasa transportasi, hingga ke customer maka diperlukan integrasi sistem perusahaan (enterprise system) untuk menciptakan supply chain visibility (rantai pasokan visibilitas).
Roger Clarke dalam Electronic Commerce Definitions, menyatakan bahwa e-commerce adalah the conduct of commerce in goods and services, with the assistance of  telecomunications and telecomunications-based tools. 
Menurut Mariza Arfina dan Robert Marpaung e-commerce dapat diartikan sebagai suatu cara berbelanja atau berdagang secara online atau direct selling yang memanfaatkan fasilitas Internet dimana terdapat website yang dapat menyediakan layanan "get and deliver".
Secara umum, e-commerce dapat diartikan sebagai proses transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet.
2.    Kedudukan E-commerce dalam Hukum di Indonesia
Keberadaan E-commerce di Indonesia, secara umum dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (UU ITE), transaksi elektronik didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Sedangkan kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik ini mempunyai kekuatan mengikat para pihak yang membuatnya.
Secara umum, e-commerce masuk ke dalam lingkup hukum perdata, khusunya hukum perikatan. Untuk itu Kitab Undang–Undang Hukum Perdata dapat digunakan sebagai salah satu ketentuan hukum dalam melakukan perdagangan elektronik. Salah satu contohnya adalah dalam pasal 1320 yang memuat mengenai syarat sahnya suatu perikatan, yaitu:
1.    Sepakat
Dalam e-commerce kesepakatan ini dilakukan dengan cara pengisian formulir pemesanan barang yang diinginkan oleh pembeli.
2.    Cakap
Kecakapan para pihak sebetulnya cukup sulit dibuktikan dalam kegiatan perdagangan elektronik ini, namun demikian masih dapat dipenuhi yaitu dengan memasukkan beberapa huruf dan angka sesuai dengan yang ada di layar, yang dipilih secara acak oleh komputer. Dengan demikian diasumsikan orang yang melakukan perbuatan hukum tersebut dapat membaca form kesepakatan. Hal ini berdasarkan pada 1866 KUH Perdata, 164 HIR jo pasal 15 UU N0. 8/1997 tentang Dokumen Perusahaan.
3.    Hal Tertentu
Maksudnya adalah ada benda yang dijadikan objek perikatan atau perdagangan, yang biasanya dapat dilihat dari foto dan/atau video dalam website penjualan tersebut.
4.    Sebab yang Halal
Bahwa objek yang diperdagangkan bukan merupakan sesuatu yang melanggar hukum, sebagai contohnya: “narkoba”. Apabila hal tersebut dilakukan maka perikatannya batal demi hukum.
Selain itu, mengenai e-commerce terdapat beberapa peraturan perundangan yang terkait antara lain: 1) UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat No.5/ 1999 UU; 2) Perlindungan Konsumen No. 8/ 1999, 3) UU Telekomunikasi No. 36/ 1999; 4) UU Hak Cipta No.12/ 1997; 5) UU Merek No. 15/ 2001; 6) UU Dokumen Perusahaan No. 8/ 1997 (pasal 15) jo Peraturan Pemerintah No.88/1999 tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan, SEMA No.39/TU/88/102/Pid, dan 7) RUU Pemanfaatan Tehnologi Informasi (RUU PTI).
3.    Jenis E-Commerce
Jenis e-commerce dapat dibagi menjadi beberapa jenis yang memiliki karakteristik berbeda-beda, antara lain:
1.    Business to Business (B2B), ciri-cirinya adalah:
a)    Trading partners yang sudah diketahui dan umumnya memiliki hubungan (relationship) yang cukup lama. Informasi hanya dipertukarkan dengan partner tersebut. Dikarenakan sudah mengenal lawan komunikasi, maka jenis informasi yang dikirimkan dapat disusun sesuai dengan kebutuhan dan kepercayaan (trust).
b)    Pertukaran data (data exchange) berlangsung berulang-ulang dan secara berkala, misalnya setiap hari, dengan format data yang sudah disepakati bersama. Dengan kata lain, servis yang digunakan sudah tertentu. Hal ini memudahkan pertukaran data untuk dua entiti yang menggunakan standar yang sama.
c)    Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan data, tidak harus menunggu parternya.
d)    Model yang umum digunakan adalah peer-to-peer, dimana processing intelligence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.
2.    Business to Consumer (B2C), ciri-cirinya adalah:
a)    Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan ke umum.
b)    Servis yang diberikan bersifat umum (generic) dengan mekanisme yang dapat digunakan oleh khalayak ramai. Sebagai contoh, karena sistem Web sudah umum digunakan maka servis diberikan dengan menggunakan basis Web.
c)    Servis diberikan berdasarkan permohonan (on demand). Konsumer melakukan inisiatif dan produser harus siap memberikan respon sesuai dengan permohonan.
d)    Pendekatan client atau server sering digunakan dimana diambil asumsi client menggunakan sistem yang minimal (berbasis Web) dan processing (business procedure) diletakkan di sisi server.
3.    Collaborative Commerce (Perdagangan Kolabratif)
4.    Consumen to consumen(C2C)
Dalam C2C seseorang menjual produk atau jasa ke orang lain. Dapat juga disebut sebagai pelanggan ke palanggan yaitu orang yang menjual produk dan jasa ke satu sama lain, seperti seperti lelang, iklan kecik dan layanan personal.
5.    Comsumen to Business(C2B).
Dalam C2B konsumen memeritahukan kebutuhan atas suatu produk atau jasa tertentu, dan para pemasok bersaing untuk menyediakan produk atau jasa tersebut ke konsumen. Contohnya di http://www.priceline.com, dimana pelanggan menyebutkan produk dan harga yang diinginkan, dan priceline mencoba menemukan pemasok yang memenuhi kebutuhan tersebut.
6.    Intra Organisational (Perdagangan Intrabisnis)
Dalam situasi ini perusahaan menggunakan e-commerce secara internal untuk memperbaiki operasinya.
7.    Goverment to Citizen (G2C)
Dalam kondisi ini sebuah entitas (unit) pemerintah menyediakan layanan ke para warganya melalui teknologi e-commerce dan e-government.  Kategori e-government, antara lain pemerintah ke warga (goverment to citizen), pemerintah ke perusahaan (goverment to business), pemerintah ke pemerintah (goverment to government), dan perdagangan mobile (mobile commerce—m-commerce).
C.    Keuntungan dan Kerugian E-Commerce
1.    Keuntungan
a.    Bagi perusahaan, memperpendek jarak, perluasan pasar, perluasan jeringan mitra bisnis dan efisiensi, dengan kata lain mempercepat pelayanan ke pelanggan, dan pelayanan lebih responsif, serta mengurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan kertas, seperti biaya pos surat, pencetakan, laporan dan sebagainya sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
b.    Bagi konsumen, efektif, aman secara fisik dan flesibel.
c.    Bagi masyarakat umum, mengurangi polusi dan pencemaran lingkungan, membuka peluang kerja baru, menguntungkan dunia akademis, meningkatkan kualitas SDM dan lain sebagainya.
2.    Kerugian
a.    Meningkatkan individualisme bagi pelaku e-commerce karena seseorang dapat bertransaksi dan mendapatkan barang/jasa tanpa bertemu dengan siapapun.
b.    Terkadang dapat menimbulkan kekecewaan terhadap obyek perdagangan.
c.    Masih lemahnya hukum yang mengatur bisnis e-commerce.
d.    Belum ada standar kualitas, keamana dan reliability yang diterima secara universal.
D.    Ketentuan dan Landasan Hukum E-Commerce dalam Perspektif Fiqh
Dalam bidang ekonomi, Islam menetapkan aturan-aturan yang komprehensif tentang keterkaitan antara dua orang yang melakukan transaksi melalui adanya hukum-hukum agama tentang itu. Aturan itu merupakan rambu-rambu bagaimana mencari dan mengembangkan harta sekaligus pengalokasiannya.  Manusia hanya sebagai penjaga harta yang harus mengoptimalkan usaha dan kekuatannya melalui strategi dan aturan yang yang ada.
Atas dasar ini juga, para fuqaha membuat suatu kaidah atau aturan-aturan ekonomi yang dapat menjadi mediasi bagi manusia untuk saling melakukan transaksi dengan model yang diperbolehkan seperti jual beli termasuk dalam masalah perniagaan elektronik.
Pada dasarnya segala sesuatu dalam bermu’amalah diperbolehkan sampai ada larangan yang mengaturnya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh mu’amalah:
الْأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal dalam urusan  mu’amalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Imam al Syafi’i menjelaskan bahwa prinsip-prinsip mu’amalah berbeda dengan prinsip-prinsip aqidah ataupun ibadah. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir dalam al-Mu’amalah al-Maliyah al-Muashirah fî al-Fiqh al-Islmiy menyebutkan prinsip-prinsip tersebut, yaitu:
a.    Fiqh mu’malah dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa nash (teks) berikut :
1)    Firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. an-Nisa`, [4]: 29).

Ÿ“Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan janganlah kalian menyuap dengan harta itu, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 188)

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu  (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. al-Baqarah [2]: 275)
   
    Ketentuan dalam jual beli juga tidak lepas dari akad seperti yang ditegaskan oleh Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (QS. al-Maidah [5]: 1)

Urgensitas dalam akad adalah makna yang terkandung dalam akad tersebut, bukan atas dasar lafadz yang diucapkan. Ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah :
 العِبْرَةُ فىِ الْعُقُوْدِ لِلْمَقَاصِدِ وَ الْمَعَانىِ لاَ لِلأَلْفَاظِ وَ الْمَعاَنِى
“Yang dianggap dalam suatu akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan”. 
Petunjuk Rosulullah saw dalam konteks perniagaan atau jual beli, dapat disimak dari hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari Abi Said al Khudzri r.a  sebagai berikut:
لاَ تَبِيْعُوا الذَّهَبَ باِلذَّهَبِ إلاَّ مِثْلاًبِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهاَ عَلىَ بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوا الْوَرِق باِلْوَرِق إلاَّ بِمِثْلٍ  وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهاَ عَلىَ بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوا مِنهاَ غاَإباً بِناَجِزٍ
“Janganlah kamu jual emas dengan emas melainkan sesuatu yang sama  dengan sesuatu yang sama, dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagian, dan janganlah kamu jual perak dengan perak melainkan sesuatu yang sama  dengan sesuatu yang sama, dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagian , dan janganlah kamu jual yang hadlirnya dengan yang ghaibnya”.  

2)    Hadis Nabi Muhammad saw dari Ibnu Umar:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah saw melarang jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan).”
b.    Pada dasarnya, hukum segala jenis mu’amalah adalah boleh. Tidak ada satu model atau jenis mu’amalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash sahih yang melarangnya, atau model atau jenis mu’amalah itu bertentangan dengan prinsip mu’amalah Islam. Firman Allah swt:
“Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. Katakanlah, apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah.” (QS. Yunus, [10]: 59)
c.    Fiqh mu’amalah mengompromikan karakter tsubut dan murûnah. Tsubut artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Artinya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal akidah, ibadah, maupun mu’amalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan pun. Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam; khususnya dalam mu’amalah; bersifat murunah, fleksibel, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
d.    Fiqh mu’amalah mengompromikan karakter tsubut dan murunah. Tsubut artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Artinya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal akidah, ibadah, maupun mu’amalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan pun. Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam; khususnya dalam mu’amalah; bersifat murunah, fleksibel, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
e.    Fiqh mu’amalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan ‘illah (alasan disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya mu’amalah adalah menjaga dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Prinsip-prinsip mu’amalah kembali kepada dharurat al khamsah, salah satunya adalah hifzh al-mal, Sedangkan berbagai akad seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain; disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan dari mereka. Bertolak dari sini, banyak hukum mu’amalah yang berjalan seiring dengan maslahat yang dikehendaki oleh syari’ (Allah) ada padanya. Artinya, jika maslahatnya berubah, atau maslahatnya hilang, maka hukum mu’amalah itu pun berubah. Al-’Izz bin ‘Abdus Salam menyatakan, “Setiap aktivitas yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, maka aktivitas itu hukumnya batal.” Dengan bahasa yang berbeda, al Syathibiy sependapat dengan al-’Izz. Asy-Syathibiy berkata, “Memerhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang mu’tabar (diakui) menurut syariat.” (Asy-Syafi’i).
E.    Konsep Jual Beli Dalam Islam
Jual beli secara bahasa adalah saling menukar. Kata al bai’ (jual) dan al syiraa (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama lainnya bertolak belakang.
Sedangkan secara istilah jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak yang lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh syara’ dan disepakati.
Jual beli menurut ulama Malikiyah dikategorikan menjadi dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang brsifat khusus. Jual beli yang bersifat umum artinya suatu perikatan atau tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan dan sesuatu yang bukan manfaat  ialah bahwa benda yang ditukarkan dzat (berbentuk) yang berfungsi sebagai obyek penjualan, bukan manfaatnya atau hasilnya.
Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang itu ada di hadapan pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.
F.    Rukun dan Syarat Jual Beli
1.    Rukun jual beli
1.    Penjual dan pembeli
2.    Obyek jual beli 
3.    Akad atau ijab dan kabul antara kedua pihak
2.    Syarat jual beli
1.    Berakal sehat
2.    Atas dasar kerelaan 
3.    Tidak mubadzir atau pemborosan
4.    Balig atau dewasa yaitu cakap dalam melakukan tindakan hukum
5.    Suci obyeknya
6.    ada manfaatnya
7.    Milik sendiri
8.    Dapat diserahkan obyeknya
9.    Diketahui zat, bentuk, ukuran dan sifat-sifatnya
G.    Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari dari beberapa segi. Dari segi hukumnya yaitu jual beli yang sah dan batal menurut hukum, dari segi obyeknya dan dari segi pelaku jual beli.
Sedangkan jual beli jika ditinjau dari segi benda yang dapat dijadikan obyek menurut pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menajadi tiga bentuk, yaitu jual beli benda yang kelihatan, jual beli yang hanya disebutkan sifat-sifatnya dalam janji dan jual beli benda yang tidak ada.
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli, benda atau barang yang diperjual belikan harus ada di hadapan penjual dan pembeli. Adapun jual beli yang hanya menyebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli dengan sistem pesanan (salam). Sedangkan jual beli yang tidak ada serta merta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang barangnya tidak tentu atau masih samar sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dengan cara yang tidak benar yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
H.    Akad dalam E-Commerce
Akad dalam dalam transaksi jual beli menurut hukum Islam merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keabsahan jual beli. Apabila dalam proses transaksi terdapat akad yang tidak sesuai dengan syara’, maka batallah ia.
3.    Pengertian akad
Akad secara etimologi berarti:
1.    Ikatan, yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara abstrak, dari satu atau dua sisi. Atau juga mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga tersambung dan menjadi satu benda.
2.    Sambungan, yaitu sambungan yang memegang kedua tepi itu dan mengikatnya.
3.    Janji, sebagaimana dijelaskan dalam surat al Maidah (5): 1 :
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqadmu”

Sedangkan secara terminologi, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus.
Pengertian akad secara umum  adalah seperti halnya dengan pengertian akad secara bahasa. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri.
Sedangkan pengertian akad secara khusus adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab dan kabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada obyeknya yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing.
2.  Unsur-unsur akad
a.    Pertalian ijab dan kabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak untuk melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak dari pihak tersebut oleh pihak lainnya. Ijab dan kabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan yang bentuknya bermacam-macam.
2.    Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah swt dalam Qur’an dan nabi Muhammad saw dalam hadis-hadisnya. Maka dalam pelakasanaan akad tidak boleh bertentangan dengan syari’ah, jika bertentangan akan mengakibatkan akad tersebut tidak sah.
3.    Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya
Akad merupkan salah satu tindakan hukum. Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap obyek hukum yang diprjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.
3. Rukun dan syarat akad
Rukun akad antara lain:
a.    Aqid, ialah orang yang berakad
b.    Ma’qud ‘alaih, ialah benda-benda yang diakadkan
c.    Maudhu’ al ‘aqad, ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad
4.      Shighat al’aqad, ialah ijab dan kabul
Syarat akad antara lain:
a.    Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Diantaranya adalah:
1)    Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak secara hukum.
2)    Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya
3)    Akad itu sesuai dengan ketentuan syara’ dan bukan akad yang dilarang oleh agama.
4)    Akad dapat memberikan manfaat.
5)    Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi Kabul.
6)    Ijab dan kabul harus bersambung sehingga apabila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal
b.    Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini juga disebut dengan syarat idhafi (tambahan) yang harus ada dalam syarat-syarat yang umum,seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
c.    Iradah aqdiyah
Iradah aqdiyah yaitu kehendak mengadakan akad yang harus ada pada waktu mengadakan akad, antara lain:
1)    Iradah batinah, yakni kehendak yang tersembunyi yang tidak dapat diketahui oleh orang lain, hanya ada dalam hati seseorang.
2)    Iradah dzahirah, yakni kehendak yang dinyatakan dengan ucapan lidah, atau dilakukan dengan tindakan yang memperlihatkan iradah bathiniyah tersebut.
3)    Iradah batiniyah haqiqiyah tidak dapat menggantikan perbuatan atau ucapan lidah, atau dilakukan dengan tindakan yang memperlihatkan iradah bathiniyah.
5.    Macam-macam akad
1.    Akad munjiz, yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan pada waktu pelaksanaan setelah adany akad.
2.    Akad mu’allaq, ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.    Akad mudhaf, ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah apabila pada waktu akad, akan tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tiba waktu yang ditentukan.
I.    Berakhirnya akad
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain itu juga terjadi karena adanya faskh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Faskh terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
4.    Di-faskh, karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syara, seperti disebutkan dalam akad rusak.
5.    Adanya hak khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis.
6.    Adanya faskh iqalah, yaiitu pembatalan oleh satu pihak atas persetujuan pihak lain karena menyesal setelah terjadinya akad yang baru saja dilakukan.
7.    Karena adanya kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad yang tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang berangkutan.
8.    Telah habis waktunya.
9.    Tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang.
10.    Kematian.

Pembahasan di atas menunjukkan adanya perikatan dalam kegiatan e-commerce berupa ijab dan kabul yang memenuhi unsur-unsur akad dalam Islam secara elektronik (internet). Dalam hal ini penulis melihat terdapat aspek kesamaan dengan mekanisme jual beli salam pada akadnya yaitu akad hutang atas komoditas dengan kriteria tertentu, dengan waktu penyerahan pada masa mendatang yang telah ditetapkan. Tujuan dari akad ini adalah menyempurnakan jual beli barang ketika waktu penyerahan telah tiba (future market).
Dalam akad salam calon pembeli menentukan barang yang akan dibeli dengan menyebutkan spesifikasinya kepada penyedia barang. Ketika akad terjadi barang yang diinginkan belum ada di hadapan kedua belah pihak yang bertransaksi namun pihak penjual mampu menyediakan apa yang dipesan oleh calon pembeli berdasarkan sifat-sifat yang telah disebutkan dan calon pembeli menyerahkan pembayaran lebih dahulu. Kemudian barang akan diserahkan kepada pembeli pada waktu yang telah disepakati.
Akan tetapi tidak sepenuhnya dapat disamakan antara salam dengan e-commerce karena masih terdapat beberapa perbedaan seperti alat pembayarannya. Dalam e-commerce menggunakan jasa perbankan untuk transaksi pembayarannya.
J.    Kesimpulan
Islam tidak ‘kaku’ terhadap perkembangan zaman dan teknologi yang terbukti mampu merubah dan menjembatani berbagai hal kebutuhan manusia termasuk dalam mu’amalah iqtishadiyah melaui teknologi informasi.
Dalam hal ini e-commerce dilihat dari perspektif  fiqh bisnis kontemporer bisa difahami sebagai sesuatu yang positif dan perlu dikembangkan dengan tetap memperhatikan syariat dan tuntunannya sebagaimana disebutkan di atas yakni syarat dan rukun jual beli beserta akad-akad yang harus dipenuhinya. Untuk itu tidak menutup kemungkinan e-commerce menjadi bagian dari ekonomi syariah dan menjadi tantangan tersendiri bagi Islam. Wallahu’alam bishowab.

Daftar Pustaka

Ahmad, Hasan, dkk, Mata Uang Islami (terj.) Al Iqtishad Al Islamy, Jakarta: PT. Raja Graifindo, 1991
Ash Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999
Avesina M, Nur, dkk, Makalah: E-Commerce dan Jual Beli dalam Islam, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2010
Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,Jakarta: Prenada Media, 2005
Hidayat, Taufik, Learn To Earn Trading Valas Via Internet, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004
Mishri , Abdul Sami’, Muqawwimat al Iqtishad al Islami. (terj.), Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990
R, Subekti, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Cet.37. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006
Rahman, Asmuni.A, Qa’idah-Qa’idah Fiqih,Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Cet.,XXXII, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 1998
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah,(terj.) Fiqhus Sunnah), Cet.XII, Bandung: PT. Alma’arif, 1996
Subowo, Tri, Makalah: E-commerce dan sistem Pembayaran pada E-Commerce, Yogyakarta: Amik Bina Sarana Informatika, 2009
Suhendi, Hendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik
Zuhdi, Masjfuk, Masa’il Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994

http://an-nuur.org
http://deris.unsri.ac.id/materi/deris/ecommerce_deris.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/e-commerce-dalam-perspektif-fiqh-kontemporer/
http://r-marpaung.tripod.com/ElectronicCommerce.doc 
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=89&Itemid=99



0 komentar:

Posting Komentar