Selamat Membaca & Semoga Bermanfaat

Sabtu, 20 Juni 2015

Intelektualitas Dan Religiusitas Dalam Wacana Pemikiran Islam Dan Barat Dan HMI (Telaah Kritis Terhadap Posisi HMI Dalam Melihat Bentuk Intelektualitas dan Relegiusitas antara Pemikiran Islam dan Barat)

Pendahuluan
Kata Sejarah (History) yang kita gunakan pada sekarang bersumber daripada perkataan Arab yaitu Syajaratun yang berarti Pohon. Dari sisi lain, istilah history merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Yunani yakni Histories yang memberikan arti atau bermakna suatu penyelidikan ataupun pengkajian. Menurut “Bapak Sejarah” Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban. Mengikut definisi yang diberikan oleh Bapak ilmu pengetahuan, Aristotle, bahwa Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yang konkrit.

Sejarah dalam artian lain digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih yang berguna bagi manusia dalam memperkaya pengetahuan agar kehidupan sekarang dan yang akan datang menjadi lebih cerah. Dengan demikian akan timbul sikap waspada (awareness) dalam diri semua kelompok masyarakat karena telah mempelajari Sejarah, hal ini dapat membentuk sikap tersebut terhadap permasalahan yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa yang berlaku pada masa lampau dapat dijadikan pengajaran yang berguna. Pengertian Sejarah bisa dilihat dari tiga dimensi yaitu epistomologi (kata akar), metodologi (kaedah sesuatu sejarah itu dipaparkan) dan filsafat atau pemikiran peristiwa lalu yang dianalisa secara teliti untuk menentukan apakah ia benar atau tidak

Sejarah Intelektual
Sejarah Intelektual mengacu pada sejarah pemikiran manusia dalam bentuk tertulis. Sejarah ini tidak bisa dianggap tanpa pengetahuan tentang pria dan wanita yang dibuat, dibahas, menulis tentang dan dalam cara-cara lain yang terkait dengan ide-ide sejarah Intelektual erat terkait dengan sejarah filsafat dan ide-ide sejarah . Premis sentral adalah bahwa ide tidak berkembang di isolasi dari orang-orang yang membuat dan menggunakan mereka dan bahwa orang harus belajar ide-ide tidak sebagai proposisi abstrak tapi dari segi budaya, kehidupan dan konteks sejarah yang dihasilkan mereka.

Sejarah intelektual bertujuan untuk memahami ide-ide dari masa lalu dengan pemahaman mereka dalam konteks. Konteks Istilah '' dalam kalimat sebelumnya adalah ambigu: bisa politik, budaya, intelektual dan sosial.

Pertama, dapat membaca teks yang baik dalam hal konteks kronologis (misalnya, sebagai kontribusi terhadap disiplin atau tradisi seperti yang diperpanjang dari waktu ke waktu) atau dalam hal saat intelektual kontemporer (misalnya, sebagai berpartisipasi dalam debat tertentu ke waktu dan tempat tertentu). Kedua, tindakan kontekstualisasi adalah tipikal dari apa yang dilakukan sejarawan intelektual, atau mereka eksklusif. Secara umum sejarawan, intelektual berusaha untuk menempatkan konsep dan teks-teks dari masa lalu dalam beberapa konteks.

Adalah penting untuk menyadari bahwa sejarah intelektual bukan hanya sejarah intelektual. Ini studi ide seperti yang dinyatakan dalam teks, dan karena itu berbeda dari bentuk-bentuk lain dari sejarah budaya yang berhubungan juga dengan bentuk-verbal dan non visual bukti. Setiap ditulis jejak dari masa lalu dapat menjadi obyek sejarah intelektual. Konsep dari intelektual relatif baru, dan menyarankan orang profesional yang bersangkutan dengan pikiran. Sebaliknya, orang yang telah menggoreskan pena di atas kertas untuk mengeksplorasi pikirannya dapat menjadi obyek sejarah intelektual.

Sejarah Intelektual Barat
Pada tahun 1898 teradapat seorang perwira berpangkat Kapten keturunan Yahudi dipecat dari dinas ketentaraan Perancis karena dicuirgai bekerja sebagai mata-mata pihak asing. Namanya adalah Albert Dreyfus.  Kasus Dreyfus  inilah kemudian menjadikan masyarakat Prancis terbelah dua yang membela dan yang mengutuk.  Yang mengutuk Dreyfus disebut oleh yang pertama sebagai
anti-semit atau rasis dan pembela Dreyfus disebut sebagai les intellectuels dan déracinés oleh yang kedua. Diantara pembelanya seperti Emile Zola (1840-1902), Emile Durkheim (1858-1917) dan Anatole France (1844-1924), sedang yang mengutuk adalah seperti Maurice Barrés (1862-1923) dan Fedinand Brunetiére.
Nah, dari kasus inilah kemudian sebutan intelektual lebih merupakan pemburukan dari pada sanjungan, yang berlaku tidak hanya di Perancis, tapi juga di Inggris dan Amerika.

Macam-macam Teori Intelektual
Teori Intelektual Barat
Julien Benda (1867-1956), Lewat buku monumentalnya, La Trahison Des Clercs (1927), Benda memberi beberapa catatan tentang intelektual.
Diantaranya, seorang intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan kepentingan sesaat, berani keluar dari sarangnya untuk memprotes ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran, walau mahal resikonya, dan oleh itu ia tidak takut penjara atau hidup susah. Singkatnya, sosok-sosok semacam Socrates, Yesus, dan Spinoza adalah profil yang sangat pas bagi Benda.

Antonio Gramsci (1891-1937) yang membagi intelektual menjadi dua macam; intelektual “tradisional” dan intelektual “organik”. Intelektual yang pertama adalah mereka para tokoh agama, guru/dosen, birokrat, dan seperti mereka inilah profil intelektual yang tidak membumi, hidup dalam ilusi dan utopia. Sedangkan yang kedua adalah intelektual yang aktif, tidak pernah diam, senantiasa berbuat sesuatu untuk masyarakatnya.

Di Inggris dan Amerika, istilah intelektual mempunyai konotasi negatif. Bagi masyarakat Inggris, intelektual itu sebutan bagi orang-orang yang irrasional, egois, ‘sok pintar’. Bahkan seorang sekretaris luar negeri di masa PM Margaret Thatcher, Sir Geoffrey Howe, menyifati Salman Rushdie (penulis buku “ayat-ayat setan”) sebagai ‘arrogant’, ‘a dangerous opportunist’, dan ‘amultiple renegade’. Lebih jauh lagi, Paul Johnson, lewat karyanya Intellectuals (1988), mengutuk kalangan inteletual dengan menyatakan, “no wises as mentors, or worthier as exemplars, than the witch doctors or priest of old” atau ‘tak layak jadi teladan.

Melihat akar sejarahnya, terlihat beberapa karakter penting ntelektual di Barat. Yakni: non-committal tak terikat dari segi ide; independent, tak terikat dari segi aksi; non-sectarian, untuk semua golongan; non-partisan, tidak memihak; non-conformis, pantang menyerah; rebellion, cenderung memberontak; oppositional, menentang arus; dan dissident, berani berbeda; resistent, menunjukkan perlawanan.

Teori Intelektual Islam
Kalau diperhatikan, ada makna universal dalam istilah intelektual, seperti ‘memperjuangkan keadilan dan kebenaran’, ‘pendirian kuat’, ‘tidak mudah terbawa arus’, dll. Makna universal ini ada di mana-mana, tidak saja di Barat.
Masalahnya adalah ketika makna universal diterapkan ke dalam partikular. Seperti menentang arus dalam konteks di dunia Kristen tidak akan sama kasusnya dengan menentang arus dalam konteks di dunia Islam. Membela kebenaran dalam konteks dunia Barat tidak sama dengan membela kebenaran dalam konteks dunia Islam.
Dengan demikian, dengan melepaskan makna partikulernya dan mengambil makna unversalnya, maka pemateri mengajak melihat makna-makna universal itu dalam Islam. Ternyata, kata pemateri, cendekiawan dan intelektual sejati itu dalam Islam adalah para Nabi dan penerusnya, waratsat al-Ambiya’ (pewaris para nabi)
dan penerus risalah profetis.

Periwayatan sejarah tentang pertumbuhan dan wacana kaum intelektual Muslim di Dunia Islam belum lagi tersedia secara memadai. Memang ada monografi-monografi tentang kaum intelektual Muslim di wilayah atau negara tertentu. Tetapi, sekali lagi, sejarah yang relatif lengkap dan komprehensif tentang kaum intelektual di Dunia Muslim secara keseluruhan sangat sulit ditemukan.

Padahal, kaum intelektual Muslim yang terpencar-pencar dalam berbagai lingkungan geografis terpisah sangat jauh, juga terhubungkan bukan hanya secara keimanan, tetapi juga secara intelektual. Bahkan, ketika kekuatan-kekuatan Eropa semakin mencengkeramkan kekuasaannya atas banyak wilayah Dunia Muslim sejak akhir abad ke-19 sampai Perang Dunia II, kaum intelektual Muslim yang terpencar-pencar itu justru semakin terkait dalam kepedulian yang sama; membebaskan kaum Muslimin dari penjajahan. Dan penjajahan itu bukan hanya berlangsung secara fisik, bahkan juga sangat boleh jadi juga secara intelektual.

Makna Religi (Religius)
Religi atau relegre (Latin) mengandung arti mengumpulkan, membaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari religari yang berarti mengikat. Agama memang mepunyai sifat-sifat yang mengikat manusia. din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata sankrit. Kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi tetap ditempat. Agama memang mempunyai sifat yang demikian.

Din dalam bahasa semit (Arab) berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, patuh, kebiasaan.
Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah diatas adalah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut:

1.    Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekutan gaib yang harus dupatuhi manusia
2.    Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
3.    Percaya pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup yang tertentu.
Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suata kekuatan gaib.
Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber dari kekuatan gaib.
4.    Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
5.    Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

Intelektualitas dan Religiusitas Kader HMI
Salah satu ciri intelektual adalah tidak pernah puas dengan realitas yang ada. Intelektual senantiasa berpikir dan bertindak untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Terlebih lagi, kader HMI dituntut untuk menjadi bagian dari solusi atas persoalan – persoalan tersebut. Hal ini sudah ditegaskan dalam salah satu tujuan HMI, yakni turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT.

Komitmen HMI pada Islam sebagai ajaran dan umat Islam sebagai entitas empirisnya musti benar-benar berupaya diwujudkan. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa hal yakni: Pertama, melanjutkan upaya pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Ini hanya mungkin apabila HMI membangkitkan kembali wacana-wacana keislaman. HMI harus semakin mampu memainkan perannya untuk memproduksi gagasan-gagasan baru tentang Islam yang rasional, modern dan inklusif. Kedua, dengan senantiasa memperjelas identitas empiris ditengah-tengah dunia kemahasiswaan. Hal ini penting untuk menangkis gejala yang mulai berkembang di beberapa kampus-kampus umum: “Islam Yes, HMI No”. Kecenderungan itu muncul karena minimal HMI dikesan sebagai kurang jelas identitas keislamannya, pada peringkat empiris. Ketiga, memperkuat ruh spiritualitas dalam dinamika organisasi untuk mengimbangi perkembangan rasionalitas yang kadangkala terlalu maju. Artinya, harus ditegaskan bahwa kualitas seorang kader, salah satunya, diukur dari dimensi-dimensi spiritualitasnya.

Referensi
http://yoelit4.multiply.com/journal/item/1, akses 13 Mei 2010
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/biografi-aristoteles-bapak-ilmu-pengetahuan/, akses 13 Mei 2010
http://setracrew.multiply.com/journal/item/4/definisi_sejarah, akses 13 Mei 2010
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Intellectual_history&rurl=translate.google.co.id&usg=ALkJrhhX2IvsNoJllfPopz_aCaI_lGHWWg#Prominent_Individuals, akses 13 Mei 2010
http://donnyreza.net/lib/INSISTS/Tradisi_Intelektual_di_Dunia_Barat_dan_Islam.pdf, akses 13 Mei 2010
Benda, Julien, Penghianatan Kaum Cendekiawan, http://perpus.habibiecenter.or.id/index.php/catalogue/detail/id/1026
Diskusi anatara Dr. Adi Setia, Khalif Muammar, MA., Malki Abd. Natsir, MA., Nirwan Syafrin, MA., dan beberapa senior INSISTS ikut menikmati ramuan ilmiah sang pemateri, Dr. Syamsuddin Arif, seorang yang sempat singgah di Frankfurt, Jerman, untuk menempuh program doctor keduanya yang berlangsung di Kuala Lumpur, hari ke-23 bulan September 2007. Ditulis oleh Gunawan dalam http://grelovejogja.wordpress.com/2007/09/26/tradisi-%E2%80%9Dintelektual%E2%80%9D-di-dunia-barat-dan-islam/
Azra, Azyumardi, Intelektual Muslim di Dunia Islam, dalam http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A2970_0_3_0_M
http://dakwah-muslim.blogspot.com/2007/10/arti-agama.html, Akses 13 Mei 2010
http://pbhmi.net/index.php?option=com_content&view=article&id=566:sambutan-ketua-umum-hmi-cabang-sleman&catid=66:pidato&Itemid=168
http://www.insancita.4t.com/resensibuku/menggagasinklusivismereligius.html

0 komentar:

Posting Komentar