Selamat Membaca & Semoga Bermanfaat

Sabtu, 13 Juni 2015

Hukum Wakaf

Pendahuluan
Salah satu bagian dari lembaga keuangan Islam adalah wakaf yang memiliki peran sangat besar dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam berbagai hal, bahkan dewasa ini wakaf telah berperan dalam pembangunan masyarakat berbasis pada nilai-nilai ke-Islam-an secara universal. Sebab, selain bernilai ibadah, wakaf juga memiliki arti atau nilai sosial yang jauh lebih berarti utamanya dalam aspek ekonomi yang bergerak menjadi roda pembangunan ekonomi masyarakat sehingga keseimbangan dalam bermasyarakat dapat terwujud dan terjaga.
Hampir sebagian besar kegiatan ekonomi dibiayai oleh wakaf yang merupakan kegiatan sukarela dari orang-orang ingin menyisihkan hartanya apalagi ia merupakan suatu perbuatan baik yang dianjurkan oleh Islam. 

Definisi Wakaf
Menurut bahasa, wakaf berasal dari kata bahasa Arab, waqafa yang berarti menahan atau berhenti di tempat. Perkataan wakaf juga dikenal dalam istilah ilmu tajwid yang bermakna menghentikan bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara. Bahkan wakaf dengan makna berdiam di tempat juga dikaitkan dengan Wukuf yakni bediam di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Sedangkan secara istilah, wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, yang dimaksud dengan wakaf adalah perpbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.
 Adapun pengertian wakaf menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu dengan kepentingannya guna keperluan ibadat dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dalam perspektif ekonomi, wakaf dapat didefinisikan sebagai pengalihan dana atau asset lainnya dari keperluan konsumsi dan menginventasikannya ke dalam asset produktif yang menghasilkan pendapatan untuk konsumsi di masa yang akan dating baik oleh individual maupun kelompok.

Sejarah Wakaf
Praktik wakaf telah dikenal sejak dulu sebelum lahirnya agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw meskipun dengan nama dan istilah yang berbeda. Hal in terbukti bahwa banyak tempat-tempat ibadah yang terletak disuatu tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor bagi yang merawatnya. Sebab sebelum nabi Muhammad saw diutus telah banyak masjid, seperti masjidil Haram, masjidil Aqsha telah berdiri dan sebelum hadirnya Islam dan bukan hak milik siapapun juga tetapi milik Allah swt untuk kemaslahatan umat.
Wakaf pada masa Rasulullah saw
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah saw karena wakaf disyariatkan setelah ia berhijrah ke Madinah pada tahun kedua hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw, ialah wakaf milik nabi saw. Untuk membangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam, orang-orang muhajirin mengatakan adalah wakaf umar, sedangkan orang anshor mengatakan wakaf Rasulullah.”
Rasulullah saw pada tahun ketiga hijriyah pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah, di antaranya kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun lainnya. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. ia berkata: “Bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia bertanya: ‘ya Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapat sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak perintahkan kepadaku? Maka jawab nabi, “Jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya”, Lalu Umar menyedekahkan dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang fakir, untuk keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu dan untuk orang yang keputusan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil), dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik dan dalam satu riwayat dikatakan: dengan syarat jangan dikuasai pokoknya”
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh  Umar bin al Khatab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun ‘Bairaha’. Selanjutnya disusul oleh sahabat nabi saw. lainnya seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebagian tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan bagi anak keturunannya yang dating ke Mekkah. Utsman menyedahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya yang popular dengan sebutan Darul Anshar. Kemudian diikuti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwan dan ‘Aisyah istri Rasulullah saw.
Pengelolaan wakaf di era dinasti-dinasti Islam
Dalam perkembangannya praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa pemerintahan Islam sesudah era Khulafaur Rasyidin. Sri Nurhayati dalam tulisannya yang bertajuk Akuntansi Syariah di Indonesia memaparkan bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. Pada masa itu, wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf. Maka, dalam perkembangan berikutnya mulai dibentuk lembaga yang mengatur wakaf. Lembaga ini bertugas untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang menjabat sebagai hakim di Mesir pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) dari Dinasti Umayyah, misalnya, telah merintis pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menetapkan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya.
Upaya ini mencapai puncaknya dengan didirikannya kantor wakaf untuk pendaftaran dan melakukan kontrol yang dikaitkan dengan kepala pengadilan, yang biasa disebut dengan "hakimnya para hakim". Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada di bawah kewenangan lembaga kehakiman.
Keberadaan lembaga wakaf ini juga diteruskan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang diberinama Shadr al-Wuquuf. Lembaga wakaf ini bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.
Sementara di masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf yang dikelola oleh negara dan menjadi milik negara. Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu. Langkah serupa juga pernah dilakukan oleh penguasa Islam di Mesir sebelumnya dari Dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam. Pada masa pemerintahan Mamluk, apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan.
Pada masa Mamluk juga dikenal yang namanya wakaf hamba sahaya, yakni mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya, yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.  
Undang-undang wakaf
Di era dinasti Mamluk inilah awal mula disahkannya undang-undang wakaf dalam sebuah pemerintahan Islam. Berbagai sumber sejarah menyebutkan, perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak masa Sultan Dzahir Baybars al-Bandaqdari, dimana beliau memilih hakim dari masing-masing empat mazhab.
Sementara itu di masa pemerintahan Turki Utsmaniyah, kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti ini telah mempermudah penerapan syari'at Islam, di antaranya adalah peraturan tentang perwakafan. Bahkan untuk menangangi persoalan wakaf ini, pada awal abad ke-19 M, pemerintahan Turki Utsmaniyah membentuk kabinet khusus untuk menangangi masalah wakaf.
Di antara undang-undang perwakafan yang paling penting yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Turki Utsmaniyah adalah yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1863. Undang-undang ini mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf. Undang-undang ini dipraktikkan di berbagai negara (Turki, Suriah, Irak, Lebanon, Palestina, dan Arab Saudi) untuk beberapa tahun setelah perpecahan Kesultanan Turki Utsmaniyah pada tahun 1918.
Pada adab kedua Hijriah, umat Islam mulai mengenal wakaf tunai atau wakaf uang. Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar Tadwin al-Hadits  yang memfatwakan bolehnya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.
Pada zaman kepemimpinan Salahudin Al-Ayyubi, di Mesir sudah berkembang wakaf uang. Hasilnya, digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta membangun masjid, sekolah, rumah sakit,  serta tempat-tempat penginapan. Di era kejayaan Islam, wakaf menjadi salah satu pilar kekuatan ekonomi dinasti-dinasti Islam.  Bermodal pengelolaan harta wakaf yang profesional, dinasti-dinasti Islam mampu menyejahterakan rakyatnya.
Pada zaman keemasan Islam, wakaf tak hanya dikelola dan didistribusikan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan  dan membayar gaji para stafnya, mengaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Rumah sakit pun dibangun di berbagai kota dengan dana wakaf. Semua biaya operasional rumah sakit ditanggung dari dana wakaf.  Gaji dokter, perawat, hingga obat-obatan ditanggung dana wakaf. Sehingga, rakyat miskin sekalipun bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima secara cuma-cuma.

Dasar Hukum Wakaf
Secara tekstual al Qur’an tidak menyebutkan secara langsung mengenai wakaf, akan tetapi melihat pada ayat-ayat mu’amalat yang mengandung makna tentang perbuatan baik yang digolongkan dalam infak atau sedekah, antara lain:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqarah [2]:261).
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al Baqarah [2]:267).
Begitu pula sabda Rasulullah saw, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila anak adam meninggal maka terputuslah semua ama perbuatannya, kecuali tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah (wakaf), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak soleh yang mendoakaanya.” (H.R. Muslim)
Selain itu, juga terdapat ijma’ sahabat yang sepakat bahwa hukum wakaf sangat dianjurkan dalam Islam dan tidak satupun dari mereka yang menafikan wakaf. Sedangkan hukum wakaf menurut sahibul madzab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal) tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukum wakaf adalah sunah. Sebab wakaf non muslimpun hukum wakafnya sah. Namun demikian bisa menjadi wajib apabila wakaf itu menjadi obyek dari nadzir.
Manfaat Wakaf
Wakaf yang disyariatkan dalam agama Islam mempunyai dua dimensi sekaligus, dimensi religi dan dimensi social ekonomi. Dimensi religi karena wakaf merupakan anjuran agama Allah yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga wakif (orang yang berwakaf), mendapat pahala dari-Nya. Sedangkan dimensi sosial ekonomi dapat membantu dan saling tenggang rasa, antara lain:
1.    Memelihara kekayaan Negara dan menjaganya untuk tidak diperjual-belikan
2.    Memelihara harta peninggalan nenek moyang dan menjaga keutuhan keluarga
3.    Harta benda wakaf keluarta selalu baru dan dinamis sesuai perkembangan waktu dan zaman.
4.    Wakaf yang dikelola dengan baik dan produktif manfaatnya akan kembali kepada keluarganya.
5.    Harta wakaf akan terus bertahan meskipun negara dalam kondisi krisis ekonomi, karena harta wakaf harus tetap dan terjaga selamanya.
Jenis Wakaf
1.    Wakaf Tunai
Dikalangan umat Islam, wakaf yang sangat popular adalah masih terbatas pada persolana tnah dan bangunan yang diperuntukkan untuk tempat ibadah dan pendidikan serta belakangan baru ada wakaf berbentuk tunai (cash) atau wakaf benda bergerak yang manfaatnya untuk kepentingan pendidikan, riset, rumah sakit serta pemberdayaan ekonomi dan lain-lain.
Bahkan wakaf tunai ini masih terbilang masih baru, khususnya di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam peraturan yang melandasinya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru memberikan fatwanya pada pertengahan Mei 2002, sedangkan UU wakaf disahkan pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal di negara lain seperti Qatar dan Kuwait, dana wakaf tunai sudah berbentuk bangunan perkantoran yang disewakan dan hasilnya digunakan untuk kegiatan umat Islam.
Meski demikian, kini Indonesia sudah memiliki beberapa lembaga wakaf tunai, paling tidak masih dalam tataran pelaksanaan wakaf dalam bentuk uang, seperti PB Mathla’ul Anwar dengan ‘Dana Fiardaus’, Tabung Wakaf dari Dompet Dhu’afa, Bank Mu’amalat Indonesia (Baitul Mal Mua’amalat), Pemkot Bekasi dengan Universitas Indonesia.
Secara emkonomi, wakaf tunai sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia, salah satunya adalah model dana abadi, yaitu dana yang dihimpun dari berbagai sumber dengan cara yang halal, kemudian dana yang tersimpan dengan volume besar, diinvestasikan dengan tingkat keamanan yang tinggi melalui lembaga penjamin syariah. Keamanan tersebut paling tidak mencakup dua aspek. Pertama, kemanan nilai pokok dana dana abadi sehingga tidak terjadi penyusutan. Kedua, investasi dana tersebut harus produktif yang mampu mendatangkan penghasilan atau pendapatan (incoming generating allocation) yang dapat digunakan sebagai pembiayaan dalam kegiatan organisasi yang dilakukan dan sekaligus menjadi sumber utama untuk pembiayaan.
Terdapat empat manfaat utama dari wakaf tunai, Pertama, wakaf tunai jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana tarbatas sudah bisa mulai memberikan  dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, aset-aset wakaf berupa tanah kosong bisa segera dimanfaatkan untuk pembangunan gedung atau diolah menjadi lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa berperan sebagai lembaga-lembaga pendidikan Islam yang terkadang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan ala kadarnya dalam menggaji civitas akademikanya. Keempat, umat Islam dapat mandiri dalam menggunakan dana mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas. Terdapat tiga filosofi mendasar yang harus ditekankan ketka hendak menerapkan prinsip wakaf tunai dalam dunia pendidikan. Pertama, alokasi wakaf atunai harus dilihat dalam bingkai ‘proyek terintegrasi’ bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah, Kedua, asas kesejahteraan nadzir (pengelola). Ketiga, asas transparansi dan accountability dimana badan wakaf dan lembaga yang dibantu harus melaporkan setiap tahun yang akan diproses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.
Wakaf tunai dalam perspektif hukum Islam
Di kalangan masyarakat muslim (Indonesia), wakaf masih difahami kurang proporsional. Pemahaman tersebut tentunya tidak lepas dari berbagai pengaruh imam madzab. Imam Syafi’i, misalnya sangat menekankan wakaf pada fixwed asset (harta tetap), sehingga menjadikannya syarat sah wakaf. Dengan demikian pembahasan harta benda wakaf dalam fiqh klasik Imam Syafi’i seperti al Umm atau bahkan fiqh modern seperti fiqh as Sunnah Sayyid Sabiq tidak memperbolehkan  wakaf tunai/uang, karena dinilai tidak akan kekal ketika dimanfaatkan. Selain itu, alasan lain adalah jika berdasarkan ‘Urf (kebiasaan yang berlaku), maka wakaf uang hanya berlaku di wilayah-wilayah tertentu dari bekas wilayah kekaisaran Bizantium (Romawi) saja, di tempat lain tidak berlaku.
Sedangkan Imam Malik mengartikan ‘keabadian’ lebih pada nature barang yang diwakafkan, baik itu asset tetap maupun asset bergerak. Ia memperluas bahasan wakaf mencakup barang-barang bergerak lainnya seperti sapi atau wakaf buah tertentu, begitu pula dengan uang tunai yang bisa digunakan untuk menopang pengelolaan wakaf secara produktif.
Pendapat serupa juga dikemukakan Imam Hanafi yang memperbolehkan wakaf tunai dengan syarat nilai pokoknya dapat terjamin kelestariannya, tidak dijualm tidak dihibahkan dan atau diwariskan dan selama digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan.
Dalam hal ini, MUI memperbolehkan wakaf tunai setelah memperhatikan fatwa-fatwa ulama besar seperti:
1.    Imam az Zuhri (waft 124 H), memperbolehkan wakaf uang dengan cara menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya di salurkan kepada mauquf ‘alaihi. (pihak atau lembaga yang menangani wakaf)
2.    Mutaqaddimin dari ulama madzab Hanafi, memperolehkan wakaf uang sebagai pengecualian atas dasar istihsan bi l ‘urfi.
3.    Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf uang.
2.    Wakaf Produktif
Penangan wakaf produktif (wakaf tidak bergerak) khususnya di Indonesia tergolong masih kecil dan sedikit jumlahnya. Akan tetapi dari yang sedikit itu dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk berkembang secara produktif, seperti pemberdayaan tanah wakaf. Sebelum pemberdayaan tanah wakaf, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukaan, yaitu:
a.    Pendataan atau inventarisasi tanah-tanah wakaf yang berisi tentang status dan kepemilikan tanah.
b.    Penyusunan planing jangka pendek, menengah dan panjang.
c.    Memperhatikan potensi-potensi tanah wakaf (sosial, ekonomi, pendidikan, dll)
d.    Prinsip manajemen kontemporer yang sesuai dengan prinsip Islam.
Model pengelolaan wakaf produktif, seperti tanah dapat dimanfaatkan untuk pembangunan pergedungan yang disewakan, seperti rumah took, gedungwakaf dan bisnis center, rumah sakit Islam, rumah kos muslim, mini market, SPPBU dan lainya. Sementara untuk kegiatan usaha bisa diwujudkan dalam bentuk peternakan, perikanan, perkebunan, industri rumahan, perbengkelan, teknologi tepat guna dansebagainya. Keduanya harus dilakukan pengawasan secara manajerial oleh lembaga, oleh masyarakat, rasa tanggungjawab keagamaan dan secara normative.
Di Indonesia telah dikenal ada beberapa nadzir yang mengelola wakaf secara profesional dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf, sebagai contoh misalnya Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern Gontor, dan lain-lain.
Penelitian terhadap lembaga pesantren ini pernah dilakukan oleh Anas Budiharjo (2011), yang dinilai Yayasan Badan Wakaf ponpes ini berhasil mengelola wakaf adalah Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. tentang pengelolaan wakaf produktif di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, penelitian ini menjelaskan bahwa Pondok Modern Darussalam Gontor telah lama mengelola harta benda wakafnya secara produktif jauh sebelum Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf disahkan, baik dengan membuka unit-unit usaha di atas tanah wakaf, maupun dengan menggarapnya langsung sebagai lahan perkebunan. Pondok ini sering dijadikan percontohan dalam hal pengelolaan harta benda wakaf oleh beberapa pengelola wakaf di Indonesia. Namun sejauh ini belum pernah diadakan penelitian mengenai status hukum pengelolaan wakaf di pondok tersebut dengan perspektif Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004.
Melihat permasalahan tersebut, peneliti meneliti lebih lanjut tentang bagaimana pengelolaan wakaf produktif di Pondok Modern Darussalam Gontor, dan bagaimana tinjauan UU No. 41 Tahun 2004 terhadap pengelolaan wakaf produktif di pondok tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Data diperoleh melalui penelitian langsung di lapangan dengan teknik pengumpulan data menggunakan interview, dokumentasi, dan observasi. Sifat penelitian ini adalah preskriptif yaitu memberi penilaian tentang sah atau tidak pengelolaan wakaf produktif di Pondok Modern Darussalam Gontor dalam pandangan hukum positif (UU No. 41 2004). Pendekatan masalah yuridis yaitu berlandaskan hukum positif (Undang-undang No. 41 Tahun 2004). Untuk memecahkan permasalahan di atas, pada penelitian ini digunakan pasal-pasal yang secara khusus mengatur tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, yaitu pasal 42 dan pasal 43 ayat (1 dan 2) UU No. 41 Tahun 2004 sebagai alat analisisnya. Dalam pasal-pasal tersebut secara singkat dan jelas mengatur tentang kewajiban pengelola wakaf atau nadzir, prinsip-prinsip dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf, serta metode pengelolaan dan pengembangan wakaf.
Setelah melakukan penelitian di Pondok Modern Darussalam Gontor maka diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan wakaf produktif di PM Darussalam Gontor tahun 2010 telah sesuai dengan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Sehingga dapat dikatakan, pengelolaan wakaf produktif di Pondok Modern Darussalam Gontor adalah sah dan dibenarkan menurut hukum positif atau hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bukti bahwa, pengelola atau nadzir telah mengelola wakaf tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan peruntukannya, bahwa pengelolaan wakaf tersebut telah dilakukan secara produktif, dan bahwa pengelolaan wakaf tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Selain itu, Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, juga menjadi salah satu yayasan pengelola wakaf yang dinilai banyak kalangan telah sukses mengelola wakaf. Badan Wakaf ini adalah badan hukum berbentuk yayasan bernama Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia atau disingkat Badan Wakaf UII berkedudukan di Yogyakarta.  Universitas Islam Indonesia  merupakan bagian/unit kegiatan dari Badan Wakaf UII.

Simpulan
Melihat pembahasan di atas, mengenai wakaf, utamanya wakaf tunai perlu dilihat dari aspek maslahatnya sebagaimana dalam konteks maqashid al syari’ah, sehingga asset-aset wakaf yang selama ini ada dan aka nada dapat dijadikan sebagai asset berharga umat Islam yang dapat digunakan dalam berbagai sektor kehidupan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, ibadah. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa untuk berwakaf tidak perlu menunggu menjadi orang kaya, karena dengan wakaf tunai ini semua masyarakat muslim dapat berkontribusi dalam membangun kemajuan Islam.
Sementara untuk pengelolaan wakaf produktif masih memerlukan waktu untuk mensosialiasasikannya dan penerapannya serta model dan metode pengembanganya.
Apalagi wakaf merupakan bagian dari kegiatan ibadah yang menyimpan nilai (pahala) besar di sisi-Nya. Wallahu’alam bi showab.


DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo, Anas. 2011. Pengelolaan Wakaf Produktif di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Yogyakarta; UIN Sunankalijaga.
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2008),
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006)
Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2009)
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:Akademika Pressindo, 2007), hal.165
http://digilib.uin-suka.ac.id/4075/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/05/m0dx6g-inilah-awal-mula-sejarah-wakaf. Edisi Senin, 05 Maret 2012
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/11/03/18/170455-bagaimana-pengelolaan-wakaf-di-era-dinasti-dinasti-islam-. Edisi Jumat, 18 Maret 2011.
Kaidah dasar UII
Kholis, Nur. 2012. Wakaf dan Upaya Pemberdayaan Potensinya Secara Produktif Di Indonesia, dalam Pribumisasi Hukum Islam. Yogyakarta: PPs-FIAI UII.
M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2006), hal. 193
Majalah Modal (4/2005; 12, 13/2003) dan Syariah Bussines (37,40/2006)
Muhammad bin Ali Muhammad Syaukani, Nailul Authat, Mesir, hal. 129
Software Qur’an in Word Ver 1.3 Created by Mohammad Taufiq
Tim Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji Depag RI, sebagaimana dikutip Wadjdy dan Mursyid, dalam Wakaf & Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), hal.88.  
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Wakaf Bab I Pasal 1

0 komentar:

Posting Komentar